Kamis, 21 Juli 2011

Antara LABA dan PAHALA


Dua kata yang sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Keduanya identik dengan keuntungan, baik itu dalam sebuah usaha/ bisnis, maupun dalam pergaulan. Tak jarang orang selalu memikirkan keduanya itu, selalu memeprtimbangkan  kedua primadona itu. Terlebih dalam hal  Laba atau keuntungan.

Ya…Laba, sungguh sangat diperhatikan dan diperhitungkan setiap orang dalam memulai setiap usahanya. Itu sangatlah pasti dan sangat masuk akal, siapa sih didunia ini yang mau rugi dalam menjalani usahanya, pasti nggak ada donk…, apalagi dalam  zaman yang serba edan dan rumit seperti sa’at sekarang ini. apapun  akan dilakukan agar  mendapatkan laba/keuntungan yang besar, terkadang melupakan  konsep halal dan haram, na’uzubillah..



Tak jarang orang rela mencurangi timbangan dalam berdagang, hanya karena ingin mendapatkan laba yang besar, tak mau rugi sedikitpun, dia akan bangga jika usahanya kian meningkat dari hasil kecurangannya itu. Dia tak menyadari tumpukan laba yang dia peroleh sebenarnya sebentuk tumpukan api yang kian lama kian besar yang dapat mengahancurkan semua usahanya.



Contoh kecilnya saja jika seseorang pelanggannya mengetahui kecurangan nya itu, tak ayal lagi si pelanggan akan berpindah ketoko yang lain, dan pastinya pelanggannya tak hanya seorang saja bukan..?



Dia lupa akan adab jual beli dan hukumnya, yang dia fikirkan hanya ingin mendapatkan keuntungan yang besar, tanpa dia sadari sebenarnya dia mengahancurkan usahnya perlahan. Dia mengahancurkan keberkahan rezeki yang dia peroleh, rezeki yang awalnya berkah berubah menjadi ancaman dan bencana yang dapat meluluh lantakkan semua hartanya itu.


“Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, sedangkan penduduk Madinah telah biasa memesan buah kurma dalam tempo waktu dua tahun dan tiga tahun, maka beliau bersabda, 'Barang siapa yang memesan sesuatu maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) dan dalam timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), serta hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula.'" (Muttafaqun 'alaih)



Bagaimana pula dengan pahala…?

Pahala adalah berlian yang bisa dibawa kemana saja, bahkan ke alam kubur sekalipun. Akan tetapi banyak dari kita yang memandang sepele  harta yang satu ini, termasuk diri saya sendiri. Kalau mengenai tentang harta yang akan dibawa ke akherat, terkadang kita lebih suka melalaikan, akan berfikir berkali-kali untuk melakukan.


 Contohnya saja dalam hal bersedekah. Tak jarang kita memilah-milah uang yang akan diberkan, terkadang memilih yang nilainya kecil dan bentuknya kucel. Aneh memang, tapi itulah kenyataan yang sering kita temui. Kita terkadang sangat enggan berbagi sedikit rejeki kita kepada saudara yang mungkin bisa dibilang kurang beruntung dari kita, dengan alasan tak ada recehlah, gak sempatlah, atau kadang kita membatin “ ah.. kuat begitu malah minta-minta, kerja napa.. dipikir mencari uang itu gampang apa…..? 

Tanpa kita sadari kita telah mengotori rezeki yang telah Allah titipkan kepada kita, kita tak pernah membayangkan bagaimana seandainya kita yang berada diposisi mereka..? sanggupkah..? seharusnya kita bersyukur masih diberikan hidup yang layak.


Mungkin terkadang anggapan kita itu benar adanya, terkadang mungkin mereka malas berusaha, kita bisa lihat dari kekarnya tubuh mereka, masih bisa berjalan dengan baik, tubuh mereka yang sehat, dan terkadang malah lebih cool di banding kita.

Tapi kita juga harus ingat kalau Allah juga tak pernah pilih kasih dalam memberikan rejeki kepada hamba-Nya. Allah akan memberikan rejeki meski terkadang kita malas-malasan menunaikan kewajiban kita, meski kita kerap lupa pada yang Maha Pemberi, kita beranggapan ini adalah kerja keras kita sendiri, hasil keringat kita, hasil kerja keras otak kita, tanpa kita ingat lagi yang menganugerahi itu semua siapa. Betapa sombong dan pongahnya kita.

 
Bisa saja Allah mengambil kepintaraan yang kita punya, Allah mengambil kembali tenaga kuat kita, Allah mencabut nikmat sehat kita, hanya dengan lentikan jari saja, terus kit amau apa..? apakah masih bisa ngomong ..” hei.. lihat ini aku yang kaya, aku yang hebat, aku yang pintar “ apa masih bisa…? Tidak bukan..?

Apa susahnya berbagi sedikit  rejeki yang kita peroleh pada saudara kita, jangan lihat pada badannya yang kekar, pada baju nya yang bagus, pada penampilannya yang mungkin boleh dibilang tak layak jika disebut  sebagai (ma’af) pengemis. Terserah mereka berpenampilan seperti apa, kewajiban kita hanya memberi, bukan menilai atau menghakimi bahwa sedekah itu benarkah buat musholla atau buat anak yatim yang mereka gunakan sebagai sejata ampuh untuk menarik simpati kita. 

 
Ingat.. kewajiban kita memberi, kalaupun kita tidak bersedia memberi sedikit receh kepada mereka, hendaknya kita tak menambah dengan prasangka dan dugaan yang belum tentu benar, dan pastinya akan merusak pahala yang telah kita raih dengan susah payah.

Jika dibandingkan dengan kocek yang keluarkan untuk keperluan yang terkadang tak begitu penting, kita tak segan-segan mengeluiarkan uang jutaan rupiah. Bahkan untuk jenis makanan yang sangat mahal, baju yang mahal.

Bukankah dengan memberi maka harta kita akan semakin subur dan bertambah…? Mungkin tidak dibalas dengan harta, tekadang dibalas dengan kesehatan dan sebagainya.
Allah berfirman :



لَن تَنَالُواْ الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيْءٍ فَإِنَّ اللّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya “ ( Al Baqarah : 93 )
Rosulullah saw bersabda : “Setiap perbuatan baik yang bermanfaat bagi orang lain adalah sedekah




0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar Anda di bawah ini,