Sabtu, 01 Oktober 2011

Mutiara Di Pinggir Kali

Oleh M .jono AG

Senyum yang selalu mengembang ditambah pelukan hangat terasa menjalar di seluruh tubuhku setelah beliau menjawab salamku. Aku merasakan seperti pelukan seorang ayah terhadap anaknya , walaupun usia ayahku mungkin 10 atau 15 tahun lebih tua dari beliau .Aku sengaja ‘’sowan’’ ke beliau setelah usai jamaah Magrib , karena biasanya jam – jam segitu belaiu mempunyai waktu yang sedikit longgar.

Alasan kedua kenapa aku memilih ba’da Magrib adalah kebiasaan beliau menerima tamu setelah jamaah pasti di lakukan di musholla yang terletak persis hanya sekitar 10 meter dari bibir bengawan Solo yang secara geografis membelah Jawa Tengah dan Jawa Timur persis di Cepu.Jembatan yang membentang menjadi garis demarkasi perbatasan kedua wilayah propinsi tersebut sehingga disana sering jadi anekdot kalau bepergian antar kota antar propinsi cukup jalan kaki dijembatan tersebut.

Musholla itu tidak terlalu besar , sekitar 4x6 m dan terdapat pintu yang langsung nyambung dengan rumah beliau yang persis di belakangnya sehingga kalau selepas ustadz Syai’in memimpin sholat berjamaah bisa langsung menemui tamu yang hendak bertemu beliau .

Obrolan kami diawali dengan menanyakan kabar masing – masing karena hanya waktu cutilah kami bisa bertemu .Obrolan ringan itu semakin menarik ketika aku menanyakan bagaimana perkembangan jamaah selama ramadhan yang baru berlalu kemarin.Aku melihat wajah beliau kelihatan sumringah . Akupun menikmati suasana ini , berarti Allah telah menurunkan sesuatu pada beliau yang memang sedari dulu berdakwah untuk mengembangkan syiar Islam di sekitar tempat tinggalnya.

Setelah mempersilahkan kami minum , beliau bercerita kalau ramadhan kali ini Allah ‘’ menitipkan ‘’ beberapa jamaah baru yang sebelumnya maaf mereka adalah pemuda yang hoby mabuk-mabukan . Allah telah membuka hati mereka lewat keluhuran akhlaq ustad z Syai’in walaupun belaiu sendiri tidak senang di panggil ustadz .Beliau lebih senang dipanggil pak Syai’in saja katanya agar lebih akrab.

Aku berusaha mengorek lebih dalam kiat beliau menarik mereka menjadi jamaah di musholla kecilnya . Karena dulu memang terdapat kondisi yang sangat kontras antar dua kampung di sekitar tempat tinggal beliau.Satu kampung dengan tingkat religius yang tinggi sedang satu kampung yang satunya justru banyak yang jauh dari agama dan banyak pemudanya yang hoby mabuk-mabukan.

Naluri dakwah beliau yang selalu bergelora , menggelitik hatinya untuk merangkul mereka. Beliau mulai melihat dimana para pemuda itu ngumpul , jam berapa ngumpulnya dan berapa orang anggotanya.Setelah beliau tahu persis jadwal mereka mulailah strategi itu dimainkan.Kebiasaan beliau yang selalu santun terhadap siapapun menjadi modal yang sangat berguna baginya.

Kebetulan beberapa hari awal Ramadhan ustadz Syai’in beberapa kali diundang tetangga dan jamaahnya yang tasyakuran . Beberapa kali juga oleh – oleh dari tuan rumah tidak dibawanya pulang melainkan diantar ke tempat mereka walaupun sore itu belum waktunya buka puasa. Justru menjadi alasan yang tepat untuk mengingatkan mereka yang justru mabuk-mabukan di gardu ronda pada saat yang lain berpuasa .Seolah tidak tahu latar belakang mereka pak Syai’in dengan santainya mengantarkan makanan itu ke mereka : ‘’ Ini mas untuk buka puasa nanti sore .’’

Yang menerima dengan gugup bercampur kaget berusaha berdiri tegak walaupun ternyata masih kelihatan sempoyongan karena yang datang kali ini adalah tokoh yang dihormati warga di sekitar kampung itu. Tidak juga memarahi mereka tapi justru memberi makanan oleh-oleh tasyakuran beberapa bungkus , cukup untuk mereka berlima.Mungkin karena masih sedikit punya kesadaran , beberapa botol minuman keras itu berusaha disembunyikan dibawah bangku . Pak Syai’in hanya tersenyum lihat tingkah mereka.

Suatu saat ketika pak Syai’in hendak berangkat mengajar dan lewat di gardu ronda itu tanpa sengaja melihat salah seorang dari mereka sedang memotong rambut temannya.Seperti biasa disamping membunyikan klakson motor tua yang beliau kendarai , pak Syai’in mengucapkan salam kepada mereka . Lama kelamaan mereka menjadi terbiasa dan tidak asing lagi dengan pak Syai’in.

Kesempatan terbuka luas , selang beberapa hari kemudian kebetulan rambut beliau mulai panjang maka tidak di sia-siakan kesempatan yang Allah bukakan untuknya. Dengan PD beliau datangi mereka untuk minta potong rambut.Awalnya mereka kikuk menerima tawaran itu , tetapi setelah beliau menjelaskan bahwa tukang cukur langganan beliau sedang keluar kota akhirnya mereka mau . Tapi aneh mereka takut kalau harus memegang kepala beliau . Mereka beralasan nggak pantas memegang kepala tokoh yang dihormati masyarakat di sekitar situ , takut kualat katanya.

Dengan santai pak Syai’in menjelaskan bahwa derajat mereka sama saja di depan Allah , tidak ada beda antara yang dipanggil ustadz maupun mereka yang memungut sampah dijalanan. Semua punya porsi masing – masing di kehidupan ini. ‘’Ya beda pak antara kami dengan bapak , kami kerjaannya nongkrong , minum dan tanpa tujuan hidup yang jelas sedangkan bapak sangat dekat dengan agama .’’ kata mereka. Pak Syai’in tersenyum dalam hati , berarti sebenarnya mereka juga tahu mana yang baik dan mana yang buruk .

‘’ Lha ayo mas , coba-coba datang ke musholla , wong musholla itu dulu juga bikinan orang tua kalian ‘’ imbuh pak Syaiin dengan penuh kebapakan . ‘’ Malu pak , mana ada yang mau terima kita macam begini ?’’ jawab mereka kompak. ‘’ Lho malu sama siapa mas ?’’ pak Syai’in kembali bertanya. ‘’Malu pada orang –orang pak , sudah terlanjur ‘’ jawab salah satu dari mereka . Pak Syai’in berdiri setelah salah seorang yang mencukur tadi mengisyaratkan kepada beliau bahwa telah selesai potong rambutnya .

Pak Syaiin tidak langsung pulang . Beliau berdiri dan memegang pundak salah satu dari mereka.’’Mas ,itulah kita manusia , kita sering malu untuk berbuat baik tapi tidak malu kalau maksiat kepada Allah , termasuk diri saya ‘’jelasnya. Seketika mereka berempat tertunduk , tidak bisa ngomong apa – apa lagi.Hati kecil mereka mengakui apa yang disampaikan beliau benar , cuman butuh keberanian untuk berubah.

Satu dua kali belum berhasil membawa mereka untuk ke musholla tidak membuat pak Syai’in menyerah. Dia yakin tentang kisah kesabaran Rasulullah SAW yang setiap hari menyuapkan makanan kepada seorang Yahudi buta yang sangat membenci nabi. Hingga suatu saat ketika baginda nabi wafat peran itu diteruskan oleh sahabat Abu bakar RA .Namun si Yahudi walaupun buta tapi tahu kalau saat ini yang menyuapinya bukan orang sebelumnya. Ketika dia tahu yang biasa menyuapinya adalah Muhammad yang sangat dia benci selama ini keadaan berubah 180 derajat .Hidayah Allah menuntunnya ke jalan Islam.

Demikian juga pak Syai’in , menjelang 10 hari terakhir Ramadhan rupanya Allah memberi jalan dan kemudahan. Pada saat pulang terlalu malam karena kendaraannya bermasalah , justru tawaran datang dari salah seorang mereka yang kebetulan membawa motor .Pak Syai’in sebenarnya agak ragu karena dari mulutnya masih bau alkohol. Tapi keyakinan yang kuat kepada Allah mengalahkan semuanya. Tawaran itu dimanfaatkan untuk mengantar langkah kaki mereka ke musholla . Sampai di musholla pak Syai’in menyuguhkan satu gelas air mineral kepadanya .

Dialog singkat terjadi .Setelah pak Syai’in menyampaikan rasa terima kasihnya sekali lagi beliau mengajak mereka untuk sama-sama sholat tarawih besuk malamnya .Dan 10 hari terakhir dimusholla yang asri di pinggir sungai bengawan solo itu bertambah jumlah makmumnya.Merekalah penyambut hidayah itu….. Subhanallah walhamdulillah.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar Anda di bawah ini,